JAKARTA, KabarSDGs – Salah satu fokus area kerja International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yaitu Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. INFID akan memastikan pelaksanaan SDGs 2030 di Indonesia bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan tidak meninggalkan seorang pun. Alvin Tamba dari KabarSDGs pun mewawancarai Program Officer SDGs INFID Bona Tua Parlinggoman Parhusip untuk mengetahui sudah sejauh mana pelaksanaan SDGs di Indonesia dan bagaimana upaya mencapainya. Melalui sambungan telepon, Bona menyampaikan perlunya gotong royong terutama dalam target Tata Kelola.
“Saya melihat dari implementasi tata kelola dulu, karena tata kelola ini memegang peranan penting apakah dilakukan dalam multipihak, karena agenda ini ambisius, jadi tidak mungkin pemerintah bisa melakukan capaiannya sendiri, harus dilakukan bergotong royong,” tuturnya.
Skenario terbaik, lanjut dia, adalah melibatkan semua pihak, sehingga semua target tercapai pada 2030. “Mungkin tidak semua tercapai, tapi itu semua bisa tercapai kalau melibatkan semua pihak,” ujar Bona.
Di tingkat nasional, datanya masih dari apa yang dilakukan di tingkat daerah. Pembangunan SDGs di kabupaten/kota menghasilkan nilai-nilai indikator yang mendukung capaian SDGs secara nasional.
Secara implementasi di level nasional harus dijalankan multipihak. “Ada yang namanya kerangka kelembagaan multipihak melalui Kepmen Bappenas nomor 127 tahun 2018. Itu sudah habis,” kata Bona Tua.
Ketika posisi kerangka kelembagaan sudah habis, Bappenas harus memperbarui itu. Di situ ada tim pelaksana nasional, tim koordinasi nasional, dan lainnya yang digawangi Kementerian PPN atau Bappenas. “Di situlah ada CSO, NGO, universitas, dan lainnya.”
Begitu juga dengan Kepmen yang telah habis sejak 2019, Bona meminta Bappenas untuk memperbarui, termasuk rencana aksinya agar kegiatan pencapaian target SDGs ini bisa dilakukan. Rencana aksi tersebut harus segera disusun sampai tahun 2024.
Menurut Bona, untuk menjalankan SDGs ini tidak bisa hanya berpegang pada peta jalan saja yang merupakan target lima tahunan, namun juga harus membuat rencana aksi yang merupakan target setiap tahun. “Saya belum tahu bagaimana penyusunannya, karena COVID-19 juga.”
Kerangka regulasi saat ini sudah habis, namun dirinya tidak tahu bagaimana pemerintah melibatkan kembali implementasi pelaksanaan yang multipihak untuk menyusun rencana aksi. “Apakah pemerintah akan membuat rencana aksi hingga 2024 tanpa melibatkan multipihak, terutama minimum hanya melibatkan kelompok yang ingin memberikan pendanaan seperti swasta, filantropi. Atau mereka juga akan melibatkan kelompok-kelompok di luar yang memberikan donasi, misalnya universitas, organisasi keagamaan, CSO, NGO. Kita belum tahu dari sisi tata kelola. Kita belum tahu gimana ke depan karena situasi COVID,” tuturnya.

Selain itu, Bona juga menyoroti aspek pembiayaan. Menurutnya, pemerintah membuat berbagai macam ide pembiayaan. Kebutuhan pendanaan itu memang menjadi hal penting karena pendanaan itu yang menggerakan kegiatan pencapaian tujuan.
Bappenas, kata Bona, mengeluarkan salah satu sumber pendanaan dari BUMN. Sementara filantropi dari non-pemerintah, mencakup zakat, CSR, dan sumber lain seperti blended finance, public private partnership, dan financing hub.
“Kita tidak masalah pembiayaan dari mana. Itu ide baik, bahwa ada strategi pembiayaan. Tapi, yang penting, daerah juga harus mengetahui apa yang dijadikan prioritas. Bagaimana pembiayaan di daerah. Okelah mungkin SDGs Financing Hub, peran zakat di tingkat nasional atau proyek nasional. Tapi bagaimana dengan kabupaten/kota? Setahu saya kabupaten/kota itu menerapkan yang namanya budget tagging. Intinya, daerah itu melihat apa-apa saja kegiatan yang secara nomenklatur sama dengan target atau indikator SDGs. Jadi masih demanding.”
Misalnya, lanjut Bona, ada kegiatan membangun toilet untuk perempuan. Itu dimasukkan dalam target SDGs kesetaraan gender, karena membagi toilet laki-laki dan perempuan secara terpisah. “Jadi kegiatan dulu dilakukan, baru dimasukkan dalam tujuan kesetaraan gender. Seharusnya dievaluasi dulu kebutuhannya apa, kemudian anggaran menyesuaikan dengan kebutuhan atau situasi di daerah tersebut berdasarkan target indikator SDGs.”
Bona mengakui, banyak daerah yang belum mengerti target-target dari SDGs. Masuk dalam Peraturan Presiden, di dalam SDGs terdapat rencana aksi nasional. Sementara rencana aksi di daerah hanya menuntut hingga tingkat provinsi. “Jadi nanti kabupaten/kota akan mengisi target pencapaian rencana aksi yang disusun pemerintah provinsi. Tapi, tidak menutup kemungkinan bila daerah tersebut membuat rencana aksi pembangunan kabupaten/kota sendiri,” katanya.
Hal itu dilakukan agar daerah lebih mudah mengisinya ketika nanti mengonsolidasi ke provinsi. “Cuma, ada permasalahan juga. Pemerintahan kabupaten/kota ini merasa rencana aksi sudah terlalu banyak,” ujar Bona.
Menurutnya, jenis rencana aksi banyak sekali dari pusat ke daerah. “Misal ada rencana aksi daerah kependudukan, kesehatan dan gizi. Itu membuat daerah merasa SDGs ini hal baru. Karena hal baru, maka membutuhkan sumber dana baru, dalam arti untuk administrasi sama belanja rutin dan belanja kegiatan.”
Paradigmanya, kata Bona, ini adalah hal baru dan membutuhkan dana baru. Itu yang kemudian menyulitkan di daerah. “Seharusnya, pemerintah pusat ini sudah sekretariat SDGs, tim koordinasi, itu harusnya dimaksimalkan. Kemudian mereka membuat sosialisasi yang lebih baik kepada tingkat kabupaten/kota.”

Agar SDGs ini diketahui banyak orang, Bona pun meminta pemerintah membuat kembali kerangka regulasi yang telah habis untuk segera diperbarui oleh otoritas berwenang dengan melibatkan banyak lembaga. “Kedua, yang penting adalah pertemuan. Keputusan Menteri Bappenas nomor 64 tahun 2018 dan 127 tahun 2015, mengenai pembentukan tim pelaksana, kelompok kerja, dan tim pakar nasional SDGs. Pertemuan mereka belum dilakukan. Pertemuan hanya dilakukan ketika Indonesia akan melaporkan capaian pada HLPF, Juli.”
Tim koordinasi, kata dia, harus bekerja dengan benar sehingga pertemuan harus dilakukan. “Membuat sesuatu, ada output-nya. Tantangan memang nanti akan menjadi berwarna, ini artinya apa yang terjadi di masyarakat. Bukan hanya laporan bagus-bagus saja.”
INFID pun menilai pelaksanaan SDGs ini masih berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing lembaga masih belum terhubung. Pemerintah harus menjadi leader bagi mereka sendiri dan kelompok lainnya, sehingga tidak bergerak sendiri. Kebutuhan kita apa, jangan kegiatan dulu baru dicocok-cocokin.”
Namun, Bona tetap optimistis target SDGs dengan waktu sepuluh tahun lagi ini bisa dikejar. Terutama bila situasi tantangan keterbukaan, pelaksanaan multipihak, dan kegiatan berdasaran kebutuhan bisa dilakukan.
“Termasuk pelaksanaan monitoring. Kita sudah lima tahun, harusnya pemantauan dilakukan tahun ini. Pemantauan hasil pelaksanaan multipihak. Jadi tidak hanya laporan pemerintah, tapi juga dari kelompok swasta, universitas, dan lainnya. Saya pikir 10 tahun ini bisa dikejar kalau kita melakukan yang menjadi prasyarat atau kondisi yang tercantum dalam SDGs.”

BIODATA – BONA TUA PARLINGGOMAN PARHUSIP. PENDIDIKAN – Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Padjajaran. PEKERJAAN – (November 2018-sekarang) Program Officer SDG di INFID, (Oktober 2015-September 2017) konsultan peneliti di INFID, (May – Agustus 2015) konsultan peneliti di Save the Children Indoneia. (November 2012- Maret 2014) Konsultan peneliti di Perkumpulan PRAKARSA dan GLOBE INTERNATIONAL UK. (Juni – Agustus 2012) Oxford Policy Management Indonesia. PENERBITAN – Panduan Monitoring dan Evaluasi bagi Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Daerah (2019), Panduan Pelaksanaan SDGs dan HAM (2019), Bunga Rampai KLHS (2019), Menuju Pembangunan Yang Lebih Berkeadilan di Indonesia, Potret Situasi, Penyebab, dan Rekomendasi Penurunan Ketimpangan 2018 (2019), Panduang SDGs untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan (2016), Delivering the promise of post–2015 development agenda in Indonesia. Indonesian case study in From Agreement to Action: Delivering the Sustainable Development Goals (2015), Buku Kajian Karakteristik Pemagangan Luar Negeri (2011).
Discussion about this post