Kucing. Bagi sebagian orang kucing adalah binatang pengganggu. Kucing lokal terutama. Dari masalah buang kotoran sembarangan, suara berisik, hingga berkembang biak yang tak terkontrol.
Berbeda dengan Dita Agustina, seorang Ibu Rumah tangga pecinta kucing. Ia membangun rumah seluas 500 meter persegi. Dua pertiganya, ia relakan untuk Rumah Penampungan Kucing, karena ia harus merawat 300 ekor kucing lokal.
Awalnya Dita hanya memiliki 30 ekor kucing dan tinggal di komplek (kawasan padat penduduk). Imbasnya, ia dihadapkan sejumlah masalah. Beberapa kali Kepala RT datang menyampaikan protes warga. “Ya gitu mas, kalau tinggal di komplek, tetangga pada protes mulu. Ada yang bilang mobilnya baret gara-gara dicakar kucing, ada lagi yang bilang bau karena buang kotoran sembarangan. Padahal kucing saya enggak pernah keluar dan selalu saya sediain pasir buat buang kotoran, tapi karena kucing saya banyak, orang mikirnya jadi beda,” ujarnya menceritakan suka duka merawat sembari membersihkan kotoran kucing.
Dita akhirnya mengalah. Ia pindah ke daerah Kemang, Parung, Kab Bogor, Jawa Barat. Di tempat inilah dia membuat rumah untuk kucing-kucingnya. Awalnya, dia tak berniat membangun rumah penampungan kucing. Namun, banyak teman-temannya yang meminta tolong menitipkan kucingnya.
“Mereka punya masalah yang sama seperti saya dulu, ketika tinggal di kompleks. Akhirnya mereka titipkan di sini, nah dari situ akhirnya nyebar. Ya sudah sekalian saja saya bikin rumah penampungan kucing,” ujarnya.
Karena sudah banyak masyarakat tahu, kini Dita banyak menerima kucing dari warga, terutama kucing lokal. Menurutnya, banyak warga yang tidak mau merawat kucing lokal. Begitu pula kucing-kucing hasil rescue yang sedang sakit ataupun cacat. Ia tak segan untuk menerima dan merawatnya. Ia tak pernah mematok harga untuk penitipan kucing, mereka -yang menitipkan kucing- hanya dikenakan biaya untuk sterilisasi (kebiri).
Dita memiliki standar untuk menjaga kebersihan dan kesehatan dalam perawatan kucing. Semua kucing yang masuk harus disterilisasi agar tak lagi berisik dan mengontrol perkembang biakannya. Setelah itu, kucing dikarantina sehingga terbiasa dengan makanan dan mudah beradaptasi dengan kucing-kucing lain. Selain diberi makanan, kucing-kucing tersebut juga diberi vitamin setiap hari. Dita dibantu empat orang staf dan anaknya.
Menjaga sirkulasi kucing, Dita selalu mengikuti event-event pameran kucing. Di sana ia membuka lapak dan membuka pintu adopsi bagi yang menginginkan kucing-kucingnya. “Kalau enggak gitu, enggak muat ini rumahnya nampung kucing,” ujarnya.
Dita mulai merasa kesulitan dengan operasionalnya karena kucing yang dirawat semakin banyak, sedangkan yang mau mengadopsinya minim. “Apalagi ini kucing lokal, enggak banyak orang tertarik untuk mengadopsi,” kata Dita.
Ia bisa menghabiskan sekitar Rp 1 juta untuk biaya makan dan vitamin kucing. Belum lagi gaji staf-staf yang membantunya dan juga biaya untuk kucing-kucing yang sakit dan membutuhkan perawatan dokter hewan. Ini menjadi kendala tersendiri.
Dita membuka donasi, tapi belum ada donatur tetap, sehingga tiap bulannya bisa tak menentu. Namun, situasi ini tidak menyurutkan semangatnya. Rasa empati dan kasih sayang membuatnya tetap berkomitmen merawat kucing.
“Kalau enggak gitu siapa lagi yang mau merawat kucing-kucing lokal gini. Kasihan mereka. Kebanyakan disiksa kalau di jalanan, Ada yang matanya sampai bengkak, ada lagi yang dua kaki depannya harus diamputasi,” ujar Dita bercerita sembari menunjukkan kucing-kucing yang sakit akibat disiksa.
Discussion about this post