JAKARTA, KabarSDGs – Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Semarang, Dr Lasmiatun menerangkan, penggunaan aplikasi MyPertamina milik Badan Usaha Milik Negara PT Pertamina (Persero) dapat mendorong penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang tepat sasaran.
“Langkah pemerintah untuk membatasi distribusi BBM bersubsidi dengan penataan yang baik sangat penting. Upaya awal yang dapat dilakukan adalah dengan mendata kendaraan yang berhak mendapatkan subsidi energi,” ujar Lasmiatun dalam siaran resminya pada Senin (26/12/2022).
“Salah satu pilihannya adalah menerapkan aplikasi MyPertamina, di mana platfrom MyPertamina dapat disinkronkan dengan data dinas sosial,” jelas Lasmiatun.
Diketahui, 89 persen solar dinikmati dunia usaha, sementara 11 persen dinikmati masyarakat. Dari 11 persen itu, 95 persen penikmat subsidi BBM jenis solar adalah kalangan mampu. Sementara itu, untuk Pertalite, 14 persen digunakan dunia usaha dan 86 persen oleh masyarakat, di mana 80 persennya justru dinikmati kalangan yang mampu.
Agar BBM bersubsidi tidak dinikmati kalangan kaya, Pertamina membangun aplikasi MyPertamina dalam rangka program digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Selain mendukung pemerintah untuk membantu masyarakat tidak mampu dan miskin, pengguna MyPertamina juga akan membantu program BBM satu harga untuk keadilan energi bagi masyarakat Indonesia hingga ke pelosok negeri, supaya kuota BBM subsidi yang didistribusikan memang sesuai dengan peruntukannya.
Selain itu, pengguna dapat memanfaatkan keuntungan lainnya, dimana MyPertamina bisa menjadi pembayaran elektronik atau E-Payment. Sehingga pengguna dapat memindai QR Code pada saat melakukan pembayaran di SPBU.
Melalui aplikasi MyPertamina, masyarakat bisa mendapat poin yang ditukarkan dengan berbagai reward dalam aplikasi tersebut. Agar mendapatkan poin, salah satu caranya adalah dengan melakukan pembelian Pertamax Turbo, Pertamax, dan Pertamina Dex.
Saat ini, pemerintah telah menaikkan subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp502,4 triliun dalam APBN-Perubahan 2022. Angka ini meningkat tiga kali lipat dari pagu awal, Rp152,5 triliun.
“Pemerintah perlu mendorong reformasi subsidi BBM dengan memperbaiki mekanisme pemberian subsidi BBM yang dalam kenyataanya selama ini tidak dinikmati masyarakat pra-sejahtera,” imbuh Lasmiatun.
Namun, lanjutnya, distribusi BBM bersubsidi tepat sasaran baru akan efektif jika pemerintah melindunginya dengan payung hukum. Tanpa aturan jelas, upaya mencegah kebocoran subsidi kandas dalam pelaksanaan.
Dosen Hukum Internasional UGM, Agustina Merdekawati menambahkan, sampai saat ini tidak ada aturan maupun sanksi bagi masyarakat kaya yang menggunakan Pertalite.
“Subsidi memang hanya untuk golongan yang tidak mampu. Tapi pertanyaannya, jika Anda termasuk golongan mampu lalu membeli Pertalite, salah tidak? Secara moral salah. Tetapi secara hukum sebenarnya tidak,” ujarnya.
Menurutnya, kriteria siapa saja yang berhak menikmati BBM bersubsidi harus segera diatur dalam revisi Perpres 191 tahun 2014.
“Sayang, sampai saat ini untuk Pertalite belum ditentukan konsumen penggunanya. Baru nanti setelah Perpres 191 itu direvisi,” beber Agustina.
Discussion about this post