JAKARTA, KabarSDGs – Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan memulai penelitian Uji Klinik Terapi Plasma Konvalesen kepada pasien virus corona baru (COVID-19), Selasa (8/9). Penelitian dilakukan di empat rumah sakit, yakni RSUP Fatmawati Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Dr Ramelan Surabaya, dan RSUD Sidoarjo Jawa Timur.
Uji klinis dilakukan sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.0107/MENKES/346/2020 tentang Tim Penelitian Uji Klinik Pemberian Plasma Konvalesen sebagai Terapi Tambahan COVID-19. Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Slamet menjelaskan, penelitian juga akan dilakukan di 20 rumah sakit lain ke depannya.
“Kami membuka kesempatan kepada RS yang berminat. Segera saja menghubungi Litbangkes untuk kami libatkan bersama-sama,” ujarnya dalam acara “Kick Off Meeting Uji Klinik Pemberian Plasma Konvalesen sebagai Terapi Tambahan COVID-19”, kemarin.
Slamet menuturkan, Litbangkes Kemenkes akan merekrut 364 pasien sebagai partisipan uji klinis. Mereka menargetkan penelitian selesai dalam tiga bulan. Mendapatkan hasil atau bukti keamanan dan efektivitas terapi plasma konvalesen kepada penderita COVID-19 menjadi prioritas.
Penggunaan plasma darah dalam pengobatan bukan hal baru. Terapi ini juga dilakukan ketika mengatasi wabah Flu Babi pada 2009, Ebola, SARS, dan MERS.
Menurut Slamet, terapi plasma konvalesen pada COVID-19 hingga kini hanya boleh dipakai untuk kondisi kedaruratan dan penelitian. Manfaat terapi masih kontroversial, karena belum cukup bukti menunjukkan efektivitasnya.
Dia menilai, uji klinis acak dengan grup pembanding (randomized controlled trial) merupakan bagian penting untuk menjawab kontroversi. “Perhatian utama para peneliti adalah keamanan dan efikasi dari terapi itu sendiri. Untuk itu, Balitbangkes mendukung upaya para klinis untuk menggunakan terapi plasma konvalesen pada pasien-pasien COVID-19 sebagai terapi yang baru diperkenalkan,” tutur Slamet.
Terapi plasma konvalesen dilakukan dengan memberikan plasma, yakni bagian darah mengandung antibodi orang-orang yang telah sembuh dari COVID-19. Para penyintas penyakit ini bisa menjadi pendonor setelah menjalani sejumlah pemeriksaan dan memenuhi persyaratan.
Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David H Muldjono mengatakan, pemberian plasma konvalesen sebagai terapi tambahan COVID-19 hanya dilakukan kepada pasien derajat sedang dan mengarah kegawatan (pneumonia dengan hipoksia). Terapi ini juga bukan untuk pencegahan.
“Kita tidak memberikan ini untuk pencegahan, karena ini adalah terapi dan belum diuji coba di seluruh dunia dan belum ada protokolnya, sehingga kami tidak memberikan dalam konteks prevention” kata David.
Penderita COVID-19 yang menjadi subjek uji klinis juga harus memenuhi syarat, di antaranya berusia minimal 18 tahun, dalam perawatan dengan derajat sedang mengarah ke berat atau derajat berat, bersedia dirawat minimal selama 14 hari, dan mengikuti prosedur penelitian.
Sebelum memulai uji klinis, subjek harus menandatangani formulir persetujuan atas penjelasan ‘informed consent form’. Setelahnya, mereka akan diberikan 200 ml plasma sebanyak dua kali dengan selang waktu tiga hari.
Selama uji klinis akan dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemeriksaan laboratorium dan radiologi, yaitu rontgen paru atau CT scan. Selain itu juga dilakukan pemantauan terhadap perubahan kadar virus, perubahan kadar antibodi netralisasi, dan perubahan skala perawatan.
Uji klinis pemberian plasma konvalesen akan dilakukan selama 28 hari, dengan menempatkan keselamatan pasien yang menjadi subyek sebagai prioritas. Selain itu, pelaksanaannya mematuhi protokol penelitian serta prinsip-prinsip cara uji klinis yang baik atau good clinical practice.
Badan Litbangkes Kemenkes tidak sendiri dalam melakukan uji klinis. Mereka bekerja sama dengan Lembaga Eijkman, Kemenristek/BRIN, Palang Merah Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan rumah sakit.
Discussion about this post